Tren Bovine brucellosis di Malaysia pada periode 2000 sampai dengan 2008


 I k h t i s a r  Latar Belakang : Bovine brucellosis yang sangat mempengaruhi ternak dikarakterisasikan dengan kejadian abortus, still birth, penurunan volume produksi air susu,
fetus yang lemah dan infertilitas baik pada ternak jantan maupun betina. Penyakit ini sudah terdistribusi secara luas pada ternak dan beberapa spesies hewan liar. Bovine brucellosis umumnya disebabkan oleh Brucella abortus dan sangat jarang disebabkan oleh Brucella mellitensis dan Brucella suis. Di Malaysia, distribusi Bovine brucellosis belum dijelaskan. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang distribusi, pola dan kecenderungan kejadian Bovine brucellosis di semenanjung Malaysia pada periode waktu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 dengan berdasar kepada data serologis yang berasal dari kegiatan serosurveilens terhadap Bovine brucellosis secara nasional pada populasi ternak.

 H a s i l : antibodi terhadap brucella terdeteksi keberadaannya pada kelompok yang digunakan sebagai objek sampling sebesar 21,8% (Tingkat Kepercayaan 95%, 21,01 – 22,59) dan terdeteksi sebesar 2,5% pada ternak yang digunakan sebagai sampel. Negara Bagian Pahang memiliki seroprevalensi hewan dan seroprevalesi kelompok tertinggi yaitu secara berurutan sebesar 5,3 dan 43,6%. Level seroprevalensi kelompok bervariasi namun tetap dalam tingkatan yang tinggi (18-26%) selama periode pengamatan dan secara umum meningkat pada periode 2000 sampai dengan 2008. Kawanan seropisitif menggerombol pada bagain tengah peninsula selama periode pengamatan. Bulan September, Oktober, dan Nopember di ilustrasikan sebagai bulan dengan level seroprevalesi tertinggi dengan nominal masing masing sebesar 33.2 , 38.4 dan 33.9%. terdapat variasi yang dapat diamati pada level seroprevalesi ternak,namun berada pada level yang realtif rendah ( < 5 % ). Statistik chi-square menunjukkan ukuran kelompok ( x 2 = 1206,077 ; d f = 2, p = 0,001) jenis ( x 2 = 37,429 ; df = 1, p = 0,001 ), bulan pengambilan sampel ( x 2 = 51,596 ; df = 11 p = 0,001 ; tahun ( x 2 = 40.08 ; df = 8 ; p = 0,001 ) dan negara bagian ( x 2 = 541,038 ; df = 10 ; p = 0,001 ) berhubungan dengan peningkatan level seropositif.

K e s i m p u l a n : Bovine brucellosis tersebar luas diantara kelompok ternak di Semenanjung Malaysia dengan tingkat seroprevalensi dalam kelompok ternak yang rendah. 

K a t a   K u n c i  : Epidemiology, Bovine brucellosis, Distribusi, Tren, Pola


L a t a r   B e l a k a n g  : Bovine brucellosis kemudian menjadi penyakit zoonosis yang bersifat general dengan dampak ekonomi pada industry peternakan yang signifikan yang terdistribusi secara luas pada ternak dan beberapa spesies satwa liar diseluruh dunia. Bovine brucellosis umumnya disebabkan oleh Brucella abortus dan sangat jarang disebabkan oleh Brucella mellitensis dan Brucella suis. Namun demikian, kebanyakan kasus brucellosis pada manusia sering dihubungkan dengan Brucella mellitensis. Bovine brucellosis dikarakterisasikan dengan abortus, still birth, infertilitas, dan kegagalan reproduksi. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan material yang terkontaminasi atau meminum susu yang masih mentah dari sapi tertular. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa wabah brucellosis telah dilaporkan terjadi pada manusia di Malaysia, terutama karena konsumsi susu kambing mentah yang terkontaminasi dengan B. melitensis. Di tempat lain, banyak kasus brucellosis pada manusia telah dikaitkan dengan susu minum sapi mentah. 

Di Malaysia, Bovine brucellosis pertama kali diidentifikasi pada tahun 1950. Penyebaran dari penyakit ini kemudian mendorong terciptanya program eradikasi brucellosis secara nasional, yang melibatkan pengujian dan penyembelihan ternak seropositive sehingga terjadi penurunan jumlah ternak seropositif. Program tersebut menuai banyak keberhasilan sehingga jumlah ternak seropositive menurun dari 8.7% pada tahun 1980 menjadi 0.4% pada tahun 1993.

Pada banyak negara, metode pengujian serologis yang diikuti dengan culling telah diterapkan dengan tingkat keberhasilan yang beragam. Sebagai suatu upaya dalam komitmen mengatasi masalah ini,otoritas veteriner Malaysia telah melaksanakan kegiatan serosurveillens aktif terhadap Bovine brucellosis selama beberapa tahun. Secara rutin kegiatan ini dilaksanakan dengan melaksanakan culling pada ternak seropositive yang diimbangi dengan pemberian kompensasi pada pemilik ternak. Survey sebelumnya telah menyimpulkan bahwa Bovine brucellosis mungkin berada pada kondisi hypo-endemic namun masih tetap terjadi pada beberapa area di daerah semenanjung. Namun demikian, pada dekade terakhir, bukti yang seperti anekdot menunjukkan peningkatan infeksi brucellosis diantara individu ternak. Dalam makalah ini, kami menggambarkan trend dan pola kejadian brucellosis pada sapi di dekade terakhir dengan menggunakan analisa retrospektif terhadap data yang dikumpulkan dari program surveilans aktif terhadap penyakit brucellosis yang dilaksanakan secara nasional. Kami percaya bahwa informasi yang berasal dari penelitian ini akan meningkatkan pemahaman tentang epidemiologi penyakit brucellosis pada sapi di Semenanjung Malaysia dan membantu pihat terkait dalam meningkatkan strategi pengendalian penyakitnya. 


 H a s i l 

Total 10.584 kelompok ternak yang terdiri atas 407.646 ekor ternak digunakan sebagai sampel selama periode pelaksanaan kajian (2000-2008), yang mana 2.302 kelompok ternak (21,8% ; Tingkat Kepercayaan 95%, 21,01-22,59) dan 10.013 ekor ternak (2,5% ; Tingkat Kepercayaan 95%, 2,45-2,55) yang diuji memberikan hasil yang positif. Level mean seroprevalensi tahunan pada ternak selama periode dilaksanakannya kajian adalah 2,7% dengan level tertinggi pada tahun 2008 (Galat 1,1%, 1,03-1,17) (Gambar 1.). Pada Gambar 1. teramati adanya pola penurunan seroprevalensi yang signifikan pada periode tahun 2000-2004 dan teramati juga pola peningkatan pada periode tahun 2004-2008 (χ2 = 40.08, df = 8, p = 0.001) (Gambar 1.). Di antara seluruh negara bagian, level seropralensi tertinggi adalan di Pahang yaitu 5,4% (tingkat kepercayaan 95% ; 4,76-5,84) dan terrendah adalah di Pulau Pinang yaitu 1,2% (tingkat kepercayaan 95% ; 1,05-1,55) (Gambar 1.).

Kisaran prevalensi seropositive pada kelompok yang rata rata berjumlah 41 ekor ternak adalah 0,9 – 100%. Mean seroprevalensi tahunan selama periode kajian adalah 21,7% dengan yang tertinggi pada tahun 2007 (26,9% CI, 16,44-20,76)(Gambar1.). Seroprevalensi Bovine brucellosis setiap negara bagian ditampilkan pada Tabel 1. Level seroprevalensi kelompok ternak berbeda secara signifikan diantara negara-negara bagian (χ2 = 541,038, df = 10, p = 0,001). Level seroprevalensi kelompok ternak tertinggi teramati terdapat di negara bagian Pahang yaitu sebesar 45,4% (95% CI, 35,75-51,85) dan terrendah teramati terdapat di negara bagian Melaka yaitu sebesar 10,7% (95% CI, 8.89–12.71). Level seroprevalensi kawanan ternak bervariasi diantara bulan dalam periode tahun pelaksanaan kajian, menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dalam tahun yang sama. Bulan September, Oktober dan Nopember memiliki level tertinggi yang masing-masing secara berurutan adalah sebesar 33,2, 38,4 dan 33,9. Terdaapat perbedaan yang signifikan diantara bulan ke bulan (χ2 = 51.596, df = 11 p = 0.001) (Gambar 2.).

Jumlah ternak dalam satu kawanan berkaitan dengan tingkat seropravalensi kawanan tersebut (χ2 = 1206.077, df = 2, p = 0.001) dimana semakin besar jumlah ternak dalam suatu kelompok maka akan semakin besar pula level seropositifnya. Tabel 1 menunjukkan analisa deskriptif dan uni-variasi (satu faktor) terhadap data kelompok ternak. Jenis ternak juga turut menentukan tinggi rendahnya hasil seropositive (χ2 = 37.429, df = 1, p = 0.001) dan sepertinya ternak sapi potong memiliki resiko yang lebih tinggi pada reaksi serologis. Kecenderungan yang lebih tinggi dalam memberikan hasil seropositive dimiliki oleh sapi Bali, Brahman, Kedah Kelantan, dan sapi Nellore, sedangkan kecenderungan yang rendah dimiliki oleh sapi perah jenis Friessien-Sahiwal dan LID (Tabel 1.).

Gambar 1. Seroprevalensi bovine brucellosis tahunan level kelompok ternak dan ternak di Semanjung Malaysia periode 2000 sampai 2008
Tabel 1. Seroprevalensi bovine brucellosis level kelompok ternak berdasarkan berbagai faktor di Semenanjung Malaysia antara tahun 2000 – 2008



 D i s t r i b u s i   S p a s i a l 

Gambar peta warna (Gambar 3,4 dan 5) menunjukkan distribusi spasial Bovine brucellosis dengan berdasar kepada tahun dan jumlah populasi ternak. Dalam peta ini tampak bahwa kelompok sapi yang bersifat seroreactor cenderung mengelompok disekitaran wilayah tengah semenanjung dengan kantong penyakit di bagian utara dari semenanjung tersebut.


 D i s k u s i 

Level seroprevalensi brucellosis kelompok ternak diantara populasi ternak di Malaysia sebesar 21,8% (95% CI, 21.01–22.59) sedikit lebih rendah daripada negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand yang masing masing adalah sebesar 27,4 dan 24,1%, dan Negara Negara lain didunia yang endemis terhadap brucellosis seperti Brasil, Ethiopia, dan Yordania yang masing masing memiliki level seropositive sebesar 32,4, 26,1 dan 23%. Level seroprevalensi brucellosis ternak di Malaysia sebesar 2,5% 95% CI; 2.45–2.55) juga lebih rendah dari Negara endemis brucellosis seperti Thailand (3,3%), Mesir (11%), Brasil (3,2%) dan Nigeria (19,7%). Perbedaan yang terjadi bisa jadi berasal dari berbagai macam factor yang tidak diukur dalam kajian ini yang mana kami percayai adanya perbedaan dalam metode uji dan protocol yang digunakan dalam aktivitas surveillen, tipe system manajemen budidaya ternak dan tingkat keketatan dalam pelaksanaan langkah-langkah pengendalian penyakit. Dalam kajian kami, level seroprevalensi kelompok ternak sebesar 2,5% adalah penurunan dari yang sebelumnya sebesar 21% dengan catatan bahwa kajian sebelumnya dilaksanakan pada kondisi batasan jumlah sampel dan kondisi geografis. Selain itu, kajian yang lain menunjukkan bahwa kesuksesan juga didapatkan dengan menerapkan program eradikasi secara terlokalisir, dimana tingkat reactor nasional menurun dari 8,7% pada tahun 1980 menjadi 0,4% pada tahun 1993.

Seroprevalensi pada tingkat kelompok ternak bervariasi secara signofikan selama periode 9 tahun pelaksanaan kajian ini dan menunjukkan peningkatan secara perlahan dalam kurun waktu 9 tahun yakni dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008. Kami mempercayai bahwasanya pola yang diamati adalah merupakan suatu fungsi dari program serosurveillen dan kegiatan culling terhadap kelompok ternak yang terjangkiti. Kegiatan pengujian dan culling mungkin telahdapat mendeteksi kebanyakan ternak yang seropositive, namun demikian dalam prosentase yang kecil


Gambar 2. Seroprevalensi bovine brucellosis bulanan kelompok ternak dan ternak di Semenanjung Malaysia dari tahun 2000 - 2008
Gambar 3. Peta berwarna yang menunjukkan prevalensi secara keseluruhan dari kelompok ternak yang memberikan hasil seropositif di Semenanjung Malaysia antara tahun 2000 - 2008
masih terdapat ternak yang lolos dari pengujian tersebut, yang kemudian akan menginfeksi ternak dan kelompok ternak yang lain. Konsisten dengan keyakinan kita, level seroprevalensi ternak menunjukkan tren yang berbeda dengan kelompok ternak. Terjadi pengurangan reactor yang signifikan (3,8-1,1%) pada ternak dari tahun 2000 sampai dengan 2004, namun demikian terjadi peningkatan secara signifikan (1,1-4,2%). Kami mempercayai bahwa kondisi ini berkaitan dengan 

Gambar 4. Peta berwarna menunjukkan prevalensi total darternak yang seropositif di Semenanjung Malaysia antara tahun 2000-2008

level penanganan oleh otoritas terkait, yang bergantung kepada tingkat kejadian penyakit pada negara tersebut. Misalnya, penurunan hewan sero-reaktor dari tahun 2000 dan seterusnya mungkin terjadi karena intensifikasi penanganan penyakit zoonosis yang dibangun dari novel kejadian wabah Nipah Virus yang terjadi pada tahun 1998-1999. Sayangnya dari sekitar tahun 2004 sampai dengan 2007 Malaysia mengalami beberapa wabah highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang mendorong pemerintah untuk berkonsentrasi dalam mengatasi untuk mencegah penyebaran wabah dan 

Gambar 5. Peta berwarna menunjukkan populasi ternak di Semenanjung Malaysia tahun 2008

mengembalikan kondisi sebagai daerah yang bebeas dari highly pathogenic avian influenza (HPAI). Pada waktu yang bersamaan, Malaysia juga berperan penting dalam upaya pembebasan Penyakit Mulut dan Kuku bersama-sama dengan Thailand dan Myanmar (Upaya Eradikasi Penyakit Mulut dan Kuku Malaysia-Thailand-Myanmar – MTM FMD, yang semakin mengalihkan perhatian. Akibatnya, terjadi penundaan kegiatan surveillans terhadap penyakit yang lain, termasuk brucellosis, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah yang signifikan dari hewan yang terinfeksi.

Dalam rentang waktu pelaksanaan kajian proporsi sero-reaktor kelompok ternak relatif tinggi (26,8%). Fenomena ini mencerminkan kesulitan dalam menetapkan status bebas pada kelompok ternak yang telah terinfeksi. Hal ini juga menguatkan opini bahwasanya beberapa persen dari ternak yang terinfeksi lolos dari program surveillen dan culling, sehingga kemudian menjadi sumber infeksi bagi ternak maupun kawanan/kelompok ternak lainnya. 

Pola yang teramati dari reactor brucellosis di berbagai negara bagian bias jadi berasal dari beberapa factor. Kami menduga bahwa perbedaan sistem manajemen pertanian yang diterapkan merupakan alasan yang utama bagi perbedaan ini ; misalkan, system pertanian terintegrasi (integrasi ternak dan tanaman) sangat umum dilaksanakan di Pahang dan beberapa tempat di Johor dan Kelantan. Pada system ini, ternak dari berbagai pemilik dibudidayakan secara ekstensif bersama-sama di perkebunan yang sama. Sifat alami dari system ini membuat hewan menjadi riskan untuk memiliki masalah kesehatan dan tidak mendapatkan layanan kesehatan veteriner. Namun demikian, dikarenakan informasi manajemen tidak termasuk dalam informasi yang dihimpun dalam kegiatan surveillen, kita tidak mampu untuk menyimpulkan lebih jauh. Kami juga mempercayai bahwa diantara berbagai negara bagian terdapat variasi keseriusan dalam melaksanakan program culling hewan yang menjadi reactor diakrenakan berbagai alasan semisal ketersediaan sumberdaya, waktu, logistic, bantuan teknis dan alokasi anggaran. Pada kajian sebelumnya telah dilaporkan bahwa lokasi, daerah, atau area memiliki korelasi yang signifikan terhadap tingkat seropositive brucellosis, yang mana, menurut penulisnya, disebabkan oleh praktek manajemen yang diterapkan dan factor agro-ekologi lainnya. Lebih lanjut, distribusi spasial dari Bovine brucellosis mendukung klaim bahwa kabupaten-kabupaten di bagian tengah semenanjung memiliki level seroprevalensi kelompok ternak dan level seroprevalensi ternak yang lebih tinggi dari tempat-tempat yang lain. Pemetaan spasial dengan menggunakan data sero-surveillens dalam kajian kami juga mengungkap beberapa kantung yang ada dengan seroprevalensi yang tinggi di beberapa negara bagian yang memiliki level seroreactor kelompok ternak dan ternak yang lebih rendah. 

Analisa kami terhadap data surveillen dikaitkan dengan beberapa factor yang diduga mempengaruhi level brucellosis pada kelompok ternak menemukan bahwa besar kecil kelompok ternak, tahun saat pengambilan sampel, tempat pengambilan sampel, dan bulan saat pengambilan sampel memiliki kaitan dengan level seroprevalensi brucellosis pada kelompok ternak di Semenanjung Malaysia. Semakin suatu kelompok ternak, jika dibandingkan dengan kelompok ternak yang lebih kecil, memiliki kemungkinan ternak seropositive yang lebih tinggi. Kaitan antara level seropositive dengan ukuran kelompok ternak bersifat konsisten yang digambarkan oleh kajian yang lain yang menggambarkan hubungan ini. Meskipun kita tidak memiliki informasi perihal densitas dari kelompok ternak yang dijadikan objek pengambilan sampel, kami percaya bahwa memang terdapat hubungan yang bersifat langsung antara besar kecilnya kelompok ternak dengan densitas. Semakin besar kelompok ternak maka semakin tinggi kontak diantara anggotanya yang mengarah kepada terjadinya infeksi silang. Faktor ini telah ditetapkan sebagai salah satu faktor penentu yang penting terhadap seropositivitas brucellosis, terutama pada kejadian abortus atau masa masa setelah melahirkan. 

Diantara jenis-jenis sapi, sapi potong sepertinya memiliki tingkat resiko yang paling tinggi. Sapi Brahman, Bali, Kedah Kelantan dan Nellore memiliki kecenderungan untuk menjadi seropositive yang lebih besar, sementara itu, jenis sapi perah, Friessien Sahiwal dan LID memiliki kecenderungan yang rendah. Kami mengambil hipotesa bahwa alas an yang utama terhadap perbedaan ini adalah system manajemen pemeliharaan yang berbeda, termasuk sistes budidaya ternak yang terintegrasi. Manajemen budidaya sapi secara ekstensif telah secara konsisten dilaporkan oleh penulis yang lain sebagai factor resiko yang penting terhadap seroprevalensi brucella. Perbedaan bisa juga terjadi karena factor lainnya yang tidak tidak terdefinisikan dan tidak terhitung dalam kajian ini. 

Kaitan antara bulan saat pengambilan sample dengan seropositivitas terhadap infeksi brucella sejalan dengan temuan dari kajian yang lain bahwa turunnya hujan, atau musim memegang peranan yang penting dalam epidemiologi penyakit ini. Pada sebagian besar area semenanjung, curah hujan secara signifikan akan meningkat pada bulan September sampai dengan Januari dan, pada kajian ini ditemukan adanya peningkatan seropositivitas Brucella pada bulan Oktober sampai dengan bulan September. Perubahan musiman dalam epidemiologi penyakit infeksius adalah fenomena yang umum terjadi baik pada daerah iklim sedang maupun iklim tropis. Namun demikian mekanisma perubahan seropositivitas tersebut kurang dapat dipahami dan telah dikaitkan dengan interaksi beberapa factor intrinsic dan ekstrinsik. Dalam epidemiologi infeksi Brucella mellitensis, telah dilaporkan bahwa perubahan musim memiliki kaitan dengan brucellosis pada manusia yang mana, pada kebanyakan kasus, bertepatan dengan periode setelah melahirkan pada hewan ternak dan, karenanya paparan terhadap peternakmengalami peningkatan ketika melakukan kontak dengan hewan ataupun meminum susu dari hewan tersebut 

Kesimpulan Temuan dari kajian kami menyoroti fitur epidemiologis Bovine brucellosis melalui pemeriksaan terhadap bukti serologis terhadap keberadaan organisme tersebut diantara ternak. Bovine brucellosis sudah menyebar luas di daerah semenanjung Malaysia yang mungkin mengelompok pada bagian tengah dari semenanjung yang mana pada daerah tersebut system beternak secara terintegrasi umum dilaksanakan. Level seroprevalensi kelompok ternak selama 9 tahun kajian ini dilaksanakan bervariasi namun tetap berada pada posisi yang tinggi, sedangkan level seropositivitas pada ternak berada pada angka yang relative rendah, namun selama dilaksanakannya kajian memiliki pergerakan angka yang halus. Kami mempercayai bahwa 2 pola yang berbeda tersebut mencerminkan kesulitan dalam mencapai kelompok ternak yang bebas dari brucellosis setelah terinfeksi, sehingga, ada baiknya untuk mempertimbangkan culling (pemusnahan) seroreaktor brucella seperti yang sudah diterapkan untuk memastikan system culling yang lebih efisien. Level seroprevalensi kelompok ternak yang tinggi dapat berimbas secara signifikan pada industry peternakan seperti yang digambar oleh sebuah kajian yang dilaksanakan di daerah Pahang, dimana total beaya terkait dengan Bovine brucellosis adala hsekitar 3,5 juta RM sedangkan potensi kerugian yang diderita oleh industry peternakan adalah sebesar 21 juta RM.

Penurunan jumlah sero-reaktor ternak sampai dengan tahun 2004 mungkin karena tindak lanjut dan intensifikasi dari kegiatan surveillen penyakit zoonosis yang dilaksanakan oleh otoritas terkait belajar dari saat terjadinya outbreak penyakit Nipah pada akhir era 90-an. Namun demikian, levelnya meningkat kembali pada tahun 2004 sampai dengan 2007, mungkin karena pergeseran sumber daya dan alokasi anggaran dari surveilen ini untuk mengontrol penyakit yang lainnya, bergantung kepada situasi penyakit local dan global pada saat yang bersamaan. Seperti kajian lain yang menggunakan data serosurveilen, kajian kami terbatas kepada kualitas data yang tersedia, termasuk data yang tidak lengkap dari masing-masing ternak yang digunakan sebagai sampel dan format rekaman data yang tidak baku yang berakibat kepada informasi yang tidak konsisten. Sehubungan dengan kepercayaan terhadap hasil dari kajian kami tentang Bovine brucellosis di semenanjung Malaysia, setiap keesimpulan yang ditarik dari kajian ini harus didasarkan kepada pengetahuan tentang kekurangan datayang kami alami.

Metode 


Kajian Area


Malaysia (4.1936° N, 103.7249° E) terletak di Asia Tenggara dan terbagi menjadi Malaysia Barat (semenanjung Malaysia) dan Malaysia Timur (Sabah dan Serawak di Pulau Borneo). Dua area tersebut dipisahkan oleh Laut China Selatan. Semenanjung Malaysia terdiri atas 11 negara bagian dan 2 daerah federal yang kesemuanya seluas 131.598 kilometer persegi berbatasan dengan Negara Thailand pada bagian utara dan Singapura pada bagian selatan. Semenanjung Malaysia memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2.400 mm dan mengalami cuaca panas dan lembab sepanjang tahun dengan dua angina musim ; angin timur laut dari November sampai dengan Maret dan angina tenggara dari bulan Mei sampai dengan bulan September. Malaysia memiliki jumlah sapi yang kecil dan selama kajian ini dilaksanakan populasi ternak di Malaysia berkisar antara 731.484 ekor sampai dengan 787.871 ekor. 


Sumber data

Di Malaysia, departemen veteriner melaksanakan kegiatan serosuveilen secara teratur, seperti disebutkan dalam Protokol Veterinar Malaysia Penyakit Brucella. Program tersebut memperbolehkan untuk melaksanakan uji skrining serologis sapi pada saat hewan tersebut berumur minimal 4 bulan dua kali dalam satu tahun. Begitu diketahui bahwa sapi memberikan hasil positif, setiap sero-reaktor harus dipotong pada tempat pemotongan hewan yang dimiliki oleh pemerintah. Penyembelihan dilaksanakan dengan pengawasan dari petugas veteriner untuk memastikan kompensasi yang harus diberikan terhadap sapi yang disembelih. 

Kegiatan pengambilan sampel dan pengujian serologis dalam program serosurveilen dilaksanakan oleh departemen veteriner negara bagian bersama dengan laboratorium veteriner setempat yang berada di daerah semenanjung. Sesuai dengan hal tersebut, sampel serum yang berasal dari ternak diuji antibody brucella-nya dengan menggunakan metode RBPT (Rose Bengal Plate test) dan CFT (Complement Fixation test), menggunakan pedoman dan protocol yang diterbitkan oleh OIE. Diagnosa konfirmasi terhadap antibody brucella dengan menggunakan metode CFT dilaksanakan di VRI (Veterinary Research Institute), Ipoh. Kegiatan tersebut telah mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan oleh Departemen Layanan Veteriner, Putrajaya Malaysia. 

Kami mendapatkan data pengujian serologis terhadap Bovine brucellosis yang berasal dari Unit Epidemiologi dan Surveilen pada Departemen Layanan Veteriner (DVS) Putrajaya, dan database pada VRI, Ipoh, dari tahun 2000 sampai dengan 2008. Pada masa lalu, data serosurveilen ini belum dikaji secara mendalam. Data-data tersebut diperbandingkan dan disusun untuk meningkatkan integritasnya. Data-data tersebut diperiksa secara mendalam dalam hal akurasi input data, pengkodean, dan kesalahan pengetikan, dan eliminasi terhadap pengulangan data dari satu peternakan yang sama sehingga satu peternakan diwakili oleh satu data dalam periode kajian. Informasi yang diperoleh dari peternakan meliputi nama dan alamat peternakan, data pengambilan sampel, lokasi dan Negara bagian, jenis sapi, kisaran umur, jumlah hewan yang diuji dan jumlah hewan pada kelompok yang diuji. 


Analisa Data

Data yang didapat dikelola dan disimpan dalam format spreadsheet Microsoft Excel (Perusahaan Micerosoft), dan tabel frekuensi digunakan untuk menghitung prevalensi berdasarkan Negara bagian, tahun, kelompok ternak, hewan dan jenis hewan. Level seroprevalensi dihitung selama 9 tahun dengan membagi jumlah total ternak seropositive dengan jumlah total ternak dengan tingkat kepercayaan seebesar 95%. Perbedaan diantara proporsi di uji dengan menggunakan statistic regresi Chi- square dan logistic uni-variasi. Kelompok ternak dibedakan menjadi 3 golongan yaitu <20 20-40="" dan="">40. Umur hewan pada peternakan dicatat sebagai rentang umur hewan yang dijadikan sampel dalam kelompok sehingga tidak dapat dianalisa lebih lanjut dalam rangka mencapai kesimpulan yang berarti. Segala analisastatistika dilaksanakan dengan menggunakan SPSS (versi 16, Chicagi, Il) pada level signifikansi α = 0.05. 


Distribusi Spasial 

Sebuah peta berwarna disusun dengan berdasar kepada data prevalensi kelompok dan individu ternak terhadap Bovine brucellosis pada tahun 2000 sampai dengan 2008 dengan menggunakan software Arc GIS v9.3 (ESRI,2009). Hasil seropositive hewan dan kelompok ternak dikumpulkan ke dalam area-area untuk analisa spasial karena kurangnya data koordinat yang tepat terhadap peternakan dan untuk menjaga kerahasiaan peternakan yang bersangkutan. Tambahan data koordinat Negara bagian dan peta Malaysia diperoleh dari data GIS dan Departemen Survey dan Pemetaan ZMalaysia (JUPEM 

Singkatan-singkatan 

HPAI : Highly pathogenic avian influenza ; FMD : Food and Moouth Disease ; LID : Local Indian Dairy : RBPT : Rose Bengal Plate test ; CFT : Complement Fixation test ; OIE : World Organization for Animal Health ; VRI : Veterinary research institute; DVS: Department of Veterinary Service; JUPEM: Department of Survey and Mapping; CI: Confidence interval; df: Degree of freedom;Sd: Standard deviation; MTM: Malaysia Thailand Myanmar 


Kepentingan terkait 

Penulis tidak memiliki kepentingan lain. 


Kontribusi penulis 

MSA dilakukan penelitian, menganalisis data dan membuat draft laporan. LH dalam penelitian, berpartisipasi dalam desain, koordinasi dan membantu untuk menyusun naskah dan menyetujui draft akhir. SKB berpartisipasi dalam desain penelitian dan membaca bukti naskah. RBM membantu dalam memperoleh data, desain penelitian dan membaca bukti naskah. MAZ berpartisipasi dalam desain studi dan membaca bukti naskah. AA membantu dalam memperoleh data, desain penelitian dan membaca bukti naskah. Semua penulis membaca dan menyetujui naskah akhir 


Ucapan Terima Kasih 

Penulis berterimakasih kepada Departemen Layanan Veteriner Putrajaya dan Veterinary Research Institute, Ipoh untuk berbagi dan menyajikan data untuk kajian ini. Kami berterimakasih kepada Katalin Bradford dan Steven Krauss yang telah membaca dan mengedit naskah kajian ini. 


Detail Penulis 

  1. Department of Veterinary Pathology and Microbiology, Faculty of Veterinary Medicine, Universiti Putra Malaysia, UPM, Serdang 43400, Malaysia. 
  2. Epidemiology and Surveillance Unit, Department of Veterinary Services, Putrajaya, Malaysia. 
  3. Veterinary Research Institute, 59 Jalan Sultan Azlan Shah, Ipoh, Perak 31400, Malaysia. 4Department of Agribusiness and Information System, Faculty of Agriculture, Universiti Putra Malaysia, UPM, Serdang 43400, Malaysia.

  • diterjemahkan dari artikel dengan judul : Bovine brucellosis trends in Malaysia between 2000 and 2008 yang ditulis oleh Mukhtar S Anka, Latiffah Hassan, Azri Adzhar, Siti Khairani-Bejo, Ramlan Bin Mohamad and Mohamed A Zainal dan dipublikasikan oleh BMC Veterinary Research.