TINJAUAN METODE DIAGNOSA BRUCELLOSIS : Sebuah Pengantar Tentang Uji Agglutinasi dalam Mendiagnosa Brucellosis

Uji aglutinasi pertama untuk mendeteksi antibodi terhadap infeksi Brucella dilaporkan oleh Wright dan Smith pada lebih dari 100 tahun yang lalu. Dalam uji ini, campuran antigen sel bakteri dan serum dari pasien manusia diinkubasi dalam tabung kaca. Jika pada saat pengamatan ditemukan sedimen pola “mantel”, maka hal ini disimpulkan sebagai hasil positif, sedangkan jika pola yang terbentuk adalah “tombol”, maka disimpulkan bahwa hasilnya adalah negatif. Uji yang masih sering digunakan sampai dengan sekarang ini didasarkan pada konsep serupa, kecuali bahwa sel Brucella abortus digunakan sebagai antigen.


Semenjak saat itu, banyak pekerjaan besar telah dilaksanakan untuk menemukan metode-metode diagnostik baru yang lebih baik lagi beserta akurasinya, yang mengakibatkan produksi uji perlekatan primer (primary binding assays). Uji perlekatan primer akan secara langsung mengukur interaksi antara antigen dengan antibodi, sedangkan uji serologi konvensional, semisal uji agglutiasi pengasaman (acidified agglutination test) atau uji fiksasi komplemen (Complement Fixation Test - CFT), mengukur fenomena sekunder termasuk agglutinasi atau aktivasi komplemen. Organisme Brucella mengandung rantai O-Polisakarida pada permukaan sel-nya yang merupakan bagian dari Lipopolisakarida Halus (Smooth Lipopolisaccharide – SLPS) dan secara kimia telah didefinisikan sebagai suatu homopopimer dari 4, 6-dideoksi-4-formamida-alpha-D- annosa, dihubungkan melalui 1, 2-glycosida. Brucella canis dan Brucella ovis tidak memiliki OPS yang dapat diukur pada permukaan sel-nya. Tiga spesies utama dari Brucella , dengan nama : Brucella abortus, Brucella melitensis, dan Brucella suis memiliki epitope yang mirip pada S-LPS nya. Dengan demikian, mereka dapat didiagnosa dengan menggunakan keseluruhan antigen atau S-LPS disiapkan dengan ekstraksi kimia Brucella abortus. Antigen Brucella abortus juga telah digunakan pada diagnosa serologis terhadap Brucella neotomae, yang ditemukan pada tikus kayu dan Brucella pada mamalia perairan.

Uji-uji serologis yang mampu untuk mendeteksi S-LPS adalah uji-uji yang paling sensitif dalam mendeteksi Brucellosis pada ternak sapi dan ruminansia kecil, namun uji-uji ini mungkin akan meberikan hasil positif palsu, jika hewan uji pada saat sebelum di uji mengalami vaksinasi atau terpapar pada bakteri gram negatif yang memiliki rantai O-LPS yang mirip dengan yang dimiliki oleh Brucella. Bakteri-bakteri ini termasuk Vibrio cholerae O1, Escherichia coli O: 157, beberapa strain Escherichia hermannii dan Stenotrophomonas maltophilia, kelompok N Salmonella (O: 30), dan Yersinia enterocolitica O: 9. Namun hanya bakteri Yersinia enterocolitica O: 9 yang merupakan penyebab utama terhadap kejadian positif palsu pada uji serologis dalam diagnosa Brucellosis.

Respon imun terhadap Brucella abortus pada sapi, yang telah paling banyak dipelajari secara rinci adalah isotipe IgM. Penampilan antibodi berdasar waktu tergantung pada dosis menginfeksi dari Brucella, rute penularan, dan status kekebalan hewan yang menjadi hospes. Hal ini segera diikuti oleh produksi isotipe IgGI, yang kemudian diikuti dengan produksi dalam jumlah kecil dari IgG2 dan IgA. Respon imun terhadap bakteri Gram-negatif lainnya yang memiliki rantai O-LPS, mirip dengan brucellae terutama level produksi isotipe IgM. Fakta ini membuat uji yang mendeteksi isotipe IgM rentan terhadap hasil positif palsu yang menyebabkan uji tersebut memiliki sensitivitas yang rendah, dan uji-uji yang mendeteksi IgG1 adalah uji yang paling berguna. Terkait dengan organisme bakteri gram negatif penyebab reaksi silang, antibodi yang berasal dari program vaksinasi terhadap Brucella abortus S19 mampu dideteksi oleh uji serologis, sehingga akan memberikan hasil positif palsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan melaksanakan vaksinasi pada anak sapi yang berumur 3 sampai dengan 8 bulan ; yang memberikan waktu bagi level antibodi untuk menurun sebelum memasuki umur dewasa., sehingga akan meminimalkan masa diagnostik. Meskipun program vaksinasi sudah dilaksanakan pada saat sapi masih muda, beberapa sapi akan tetap memiliki titer antibodi yang tinggi pada masa dewasanya. Masalah ini mengharuskan adanya pengembangan dari uji serologis, seperti competitive enzyme immunoassay dan fluorescence polarisation assay (FPA), dan suatu vaksin “hidup” yang tidak mengandung OPS, yaitu Brucella abortus RB51, yang dihasilkan oleh Schurig.

sumber pustaka ada pada penulis