Infark Jantung

 

Walaupun telah banyak dicapai kemajuan teknologi di bidang teknologi monitoring dan patofisiologi perinatal asfiksia pada janin dan neonatus, Ensefalopati hipoksik iskemik masih merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang.

Ensefalopati hipoksik iskemik terutama di picu oleh keadaan hipoksik otak, iskemik oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. Tidak terdapat terapi spesifik pada ensefalopati hipoksik iskemik.

Anoksia adalah istilah yang menunjukkan akibat tidak adanya suplai oksigen yang disebabkan oleh beberapa sebab primer. Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen dalam darah arteri, sedangkan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut.

Hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada Susunan Saraf Pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental. (1)Angka kejadian HIE berkisar 0,3-1,8%. Australia (1995), angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada menit pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada 0,3% bayi lahir hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental permanent (2).

Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal yang menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis dan kegagalan fungsi minimal 2 organ (paru, jantung, hati, otak, ginjal dan hematologi) yang konsisten.

Faktor-faktor resiko :
  1. Hipertensi selama kehamilan atau pre-eklampsia
  2. Restriksi pertumbuhan intra-uterin
  3. Terlepasnya plasenta
  4. Anemia fetus
  5. Postmaturitas
  6. Persalinan non fisiologis
  7. Malpresentasi termasuk vasa previa

Hipoksia pada fetus disebabkan
  1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2
  2. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau tekanan uterus pada vena cava dan aorta.
  3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan tetani.
  4. Plasenta terlepas dini
  5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat
  6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain
  7. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date

Deteksi bayi resiko tinggi untuk terjadi asphyxia perinatal :

Dikatakan hanya 50% bayi yang membutuhkan resusitasi pada saat persalinan dapat diprediksi dengan riwayat antenatal atau tanda klinis pada saat persalinan. Beberapa prediktor yang dapat digunakan untuk memprediksi Apgar Score yang rendah adalah :
  1. Penghitungan pergerakan fetus (sensitivitas 12-50%, spesifisitas 91-97%)
  2. Tes non-stress (sensitivitas 14-59%, spesifisitas 79-97%)
  3. Profil biofisikal fetus
  4. Kelainan detak jantung janin (sensitivitas 31%, spesifisitas 93%)
  5. pH darah fetus (pH menurun sensitivitas 31%, pH meningkat spesifisitas 93%)
  6. Penurunan volume amnion
  7. Adanya mekoneum dalam amnion

Insufisiensi plasenta mungkin tidak terdeteksi pada pemeriksaan klinis.

Adanya hipoksia kronis intrauterin menyebabkan retardasi pertumbuhan fetus tanpa tanda-tanda distress fetal (misalnya bradikardia). Doppler umbilical waveform velocimetry (yang memperlihatkan tahanan vaskuler fetus) dan cordocentesis (menggambarkan hipoksia fetus) dapat digunakan untuk mendeteksi hipoksia kronik fetus. Kontraksi uterus menimbulkan penurunan konsentrasi oksigen, depresi sistim kardiovaskuler dan CNS dan menyebabkan Apgar Score rendah dan hipoksia post-natal di ruang persalinan.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan :
  1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.
  2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau adrenal.
  3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan sebab defek serebral, narkosis atau cedera.
  4. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.

Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan detak jantung janin dengan variasi irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan detak jantung janin secara terus menerus memperlihatkan pola deselerasi yang bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit kepala janin menunjukkan pH kurang dari 7,2
 
Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP

Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau tonus tampak normal.

Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau kecacatan berat tergantung pada derajat HIE.
  1. Derajat 1 : 1,6%
  2. Derajat 2 : 24%
  3. Derajat 3 : 78%
  4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi kecacatan neurologi berat.
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka rata-rata kematian atau kecacatan berat :
  1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%
  2. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64% 
  3.  Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga merupakan tanda-tanda HIE. Cerebral edema dapat berkembang dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan hipoglikemia (6,7).

Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik, hipertensi persisten pulmonary, sindroma distress nafas, perforasi gastrointestinal, hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa perinatal.

Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas dan insufisiensi sirkulasi.

Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia, hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis respiratorius. Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus secara sementara (4).

Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat ringan hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak pada perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin yang memanjang dapat menyebabkan PVL dan hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang merupakan predesposisi untuk terjadi hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan gasping, dapat akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo dan skuama)(4).

Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang bulan. Identifikasi infark terbaik dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Edema serebral menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan sering terjadi pada HIE berat. Excitatory asam amino mempunyai peran penting dalam patogenesis cedera asfiksia otak (5)

Metode diagnosa dengan menggunakan Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
  1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.  
  2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat
  3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit
  4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan sistim organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan (Martin AA, 1995 (5). Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 40-50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40mg/mL.

Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan dalam hubungannya dengan hasil akhir neurologi. Cara yang digunakan disebut selective cerebral cooling yang menggunakan air dingin disekitar kepala. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat merekomendasikan pengobatan ini khususnya pada bayi.

Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba, allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan penggunaan allopurinol pada neonatus dengan HIE.

Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir penderita dengan HIE.

Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat HIE. Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis HIE ditegakkan berdasarkan penurunan kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil, okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis tersebut ditunjang dengan hasil EEG (1)
 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al.1994. Early prediction of the development of microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term newborn. Pediatrics.,93 :703
  2. Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. 1997 Predicting the outcome of postasphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth. J Pediatr .,131 :613
  3. Bager B. 1997 Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting challenge. Acta Pediatr.,86 :1214
  4. Perlman JM, Risser R, Broyles RS. Bilateral.1998 cystic periventricullar leucomalacia in the premature infants: Associated risk factors. Pediatrics,97 :822
  5. Martin – Ancel A, Gracia-Alix A, et al.1995 Multiple organ involvement in perinatal asphyxia. J Pediatr., 127 ;786
  6. Evans D, Levene M.1998. Neonatal seizures. Arch Dis Child.,78 :F70
  7. Hall RT, Hall FK, Daily DK.1998 High-dose Phenobarbital therapy in term-infants with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with three-years follow-up. J Pediatr.,132 :345