Avian Influenza / Flu Burung


Avian influenza ( flu burung ) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Virus influenza itu sendiri, terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, B dan C. Virus influenza tipe A adalah virus influenza yang dapat menjangkiti beberapa jenis hewan termasuk burung, babi, kuda, anjing laut dan ikan paus.



Wabah avian influenza tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga menyerang negara-negara di Asia Tenggara, Asia Timur, Amerika, Eropa dan Australia. Walaupun sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan terjadinya transmisi virus avian influenza dari hewan ke manusia, namun di negara lain misalnya Hongkong dan Thailand sudah terjadi bahkan memakan korban jiwa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit ini sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi penyebarannya.


Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae dengan antigen Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). H dan N ini selanjutnya digunakan untuk memberi kode pada subtipe avian infuenza.


Protein H menentukan tingkat patogen virus influenza. Virus tipe H5 dan H7 misalnya, mempunyai tingkat patogen yang tinggi terhadap ayam. Sementara itu, protein N juga berfungsi sebagai penentu batas inang (host) disamping juga menentukan tingkat patogennya. Walaupun protein N dikatakan berpengaruh terhadap penentuan inang, spesifikasi inang lebih ditentukan lagi oleh protein nukleokapsid (NP, Nucleocapsid Protein) yaitu protein yang berikatan langsung dengan gen RNA virus influenza. Karena itu, loncatan inang dari ayam ke manusia kemungkinan disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada protein NP ini. Dengan kata lain, protein NP yang spesifik terhadap burung bermutasi menjadi protein yang bisa menginfeksi manusia.

Berdasarkan kandungan protein hemaglutinin dan neuraminidase virus penyebab avian influenza ini mempunyai beberapa strain, misalnya H1N1, H3N2, H5N1, H5N2, H7N1, H7N7 dan H9N2. Keragaman jenis strain virus avian influenza disebabkan karena virus ini mudah berubah bentuk akibat timbulnya Antigenic Drift dan Antigenic Shift. Antigenic Drift adalah perubahan kecil yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu sehingga virus AI yang memakai "baju baru" itu tidak dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Jadi ayam yang pernah tertular salah satu jenis virus A masih dapat tertular lagi oleh virus baru. Sedangkan pada Antigenic shift, perubahan yang terjadi lebih banyak lagi, meliputi perubahan subtipe hemaglutinin, neuraminidase atau keduanya. Antigenic shift lebih jarang terjadi dibandingkan dengan antigenic drift. Namun pada virus AI dapat terjadi antigenic shift dan antigenic drift sekaligus.

Virus AI dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C, tetapi virus ini akan mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit atau 56°C selama 3 jam dan juga akan mati oleh detergent, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodin. Masa inkubasi pada unggas adalah 1 minggu, sedangkan pada manusia 1-3 hari.

Flu burung yang pada ilmu kedokteran veteriner lebih dikenal dengan nama Avian influenza, berdasarkan sifat virulensinya dibagi menjadi virus ganas (Highly Pathogenic Avian Influenza atau HPAI) dan virus tidak ganas (Low Pathogenic Avian Influenza atau LPAI). Contoh strain virus AI yang termasuk HPAI adalah H5N1, yang akhir-akhir ini mewabah di negara-negara Asia Tenggara dan menyebabkan banyak kematian. Sedangkan yang termasuk LPAI misalnya strain H6N2 dengan angka kematian 0,25-3% dan penurunan produksi telur 40%.

DISTRIBUSI DI DUNIA

  • 1878 : Avian influenza pertama kali ditemukan di Itali namun belum dikenal. 
  • 1924 - 1925 : Di Amerika Serikat AI menular di antara unggas namun belum menular ke hewan lain. 
  • 1979-1980 : Di Amerika Serikat terjadi penularan virus AI dari camar ke anjing laut, mengakibatkan 20% populasi anjing laut mati. 
  • 1983 - 1984 : Di Amerika Serikat tejadi infeksi virus AI H5N2, mengakibatkan 17 juta ayam mati. 
  • 1985 : Di Victoria, Australia wabah AI mengakibatkan 105.000 ayam dibunuh. 
  • 1997 : Di Hongkong terjadi infeksi virus AI H5N1 yang mengakibatkan seorang anak laki-laki meninggal dunia. Pada bulan Desember tahun yang sama, virus AI menginfeksi 17 orang dan 5 diantaranya meninggal dunia. 1,5 juta ayam dibinasakan karena terjangkit virus ini. 
  • 1999 : Di Hongkong seorang anak terjangkit virus AI H9N2 tetapi dapat disembuhkan. 
  • 1999-2001 : Di Itali 13 juta unggas mati karena terinfeksi virus AI H7N1. 
  • Februari 2003 : Di Hongkong 2 orang tertular virus AI H5N1 dan 1 diantaranya meninggal dunia. 
  • Desember 2003 : Di Hongkong 1 orang tertular virus AI H9N2. 
  • Februari 2003 : Di Belanda 84 orang tertular virus AI H7N7 dan seorang diantaranya meninggal dunia. 
  • Januari 2004 : Vietnam, Kamboja dan Thailand terserang virus AI H5N1 
(Kompas, 26 Januari 2004)


KEJADIAN DI INDONESIA

  • 29 Agustus 2003 : Muncul penyakit yang mematikan di peternakan ayam di kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu menyebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
  • 23 Oktober 2003 : Deptan menginformasi wabah itu sebagai virus tetelo dengan jenis vilogenik viserotropik berdasarkan pengujian beberapa lembaga dan laboratorium. 
  • 28 Oktober 2003 : Otoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA) Singapura telah melarang sementara impor burung dan unggas lainnya dari Indonesia karena adanya informasi wabah penyakit Avian influenza di beberapa daerah. 
  • 19 November 2003 : Dua sumber independen yang layak dipercaya di Indonesia telah mengirim informasi adanya wabah Avian influenza ke International Society for Infectious Disease (ISID). Mereka mengabarkan, wabah tersebut telah terjadi di Jawa Barat dan Sumatera. 
  • 22 Desember 2003 : Pusat Informasi Unggas Indonesia (Pinsar) menyebutkan adanya keikutsertaan Avian influenza dalam wabah tetelo yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Virus tersebut tidak hanya diisolasi, tetapi sudah diidentifikasi melalui berbagai metode diagnostik. Pinsar menyarankan virus Avian influenza yang ditemukan sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan internasional di Australia, Inggris, Jerman atau Amerika Serikat. 
  • Pertengahan Desember 2003 : Rapat dilangsungkakn di rumah Menteri Pertanian Bungaran Saragih di Widya Candra, yang dihadiri pejabat Dirjen Bina Produksi, pengusaha, dinas peternakan daerah dan lain-lain, untuk memperdebatkan masalah Avian influenza. 
  • 15 Januari 2004 : Sebuah tim yang terdiri atas Kepala Badan Karantina dan Direktur Kesehatan Hewan pergi ke Cina sekitar enam hari untuk mempelajari kasus Avian influenza, termasuk pengadaan vaksin. 
  • 21 Januari 2004 : Dirjen Bina Produksi Peternakan menginformasikan bahwa pemerintah menunjuk PT Bio Farma untuk mengimport vaksin Avian influenza dengan jenis patogenitas rendah. 
  • 24 Januari 2004 : Ketua I Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) CA Nidom mengumumkan, dari identifikasi DNA dengan sampel 100 ayam yang diambil dari daerah wabah diketahui positif telah terjangkit avian influenza. 
  • 25 Januari 2004 : Deptan mengumumkan secara resmi kasus avian influenza terjadi di Indonesia, namun belum ditemukan korban manusia akibat wabah tersebut. (Kompas, 26 Januari 2004) 
Selama periode 2004-2005 banyak kasus kematian unggas yang diperkirakan karena AI seperti yang terjadi di : 

  • Kulon Progo dan Turi Sleman Yogyakarta (Februari 2004) 
  • Jawa Barat ( awal tahun 2005) 
  • Sulawesi Selatan kabupaten Sidrap, Soppeng, Wajodan Maros (Maret 2005) 


(Kompas, 4 November dan 17 Maret 2005)



KEJADIAN PENYAKIT PADA HEWAN

Spesies unggas yang bisa di serang dan dijadikan induk semang (inang) diantaranya adalah ayam, kalkun, bebek, puyuh dan burung-burung liar. Selain pada unggas, virus juga dapat bertahan hidup pada spesies lain seperti tikus, babi, kuda dan lalat. (Anonim 2004)

Di alam bebas virus AI dilestarikan oleh itik liar dan unggas liar lainnya seperti burung merpati. Di dalam tubuh unggas yang terinfeksi virus mengalami penggandaan di dalam saluran usus dan pernafasan karena sel-sel epitel organ ini dapat menghasilkan enzim yang penting untuk membelah hemaglutinin virus sehingga menjadi lebih aktif. Pada jenis AI yang patogenik pada tempat yang terbelah mempunyai tambahan asam amino sehingga menyebabkan hemagutinin terbelah dengan penambahan enzim lebih luas ke seluruh tubuh.

Penularan virus AI dapat terjadi melalui kotoran yang mengandung virus AI secara oral maupun saluran pernafasan dapat juga melalui ingus hewan reservoir.

Penularan tersebut terjadi secara horisontal artinya bahwa penularan terjadi antara unggas hidup terinfeksi ke unggas sehat. Sedangkan penularan secara vertikal yaitu dari induk terinfeksi ke telur tetas tidak dimungkinkan.

Gejala klinis yang terjadi pada Avian influenza ini sangat bervariasi tergantung faktor inang yang diserang yaitu misalnya jenis, umur, kelamin dan infeksinya. Selain faktor inang, tipe virus influenza dan faktor lingkungan juga menentukan. Beberapa virus dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya dalam suatu jenis dan tidak menular pada jenis lain.

Pada unggas liar yang terserang biasanya tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala-gejala klinis yang tampak pada hewan yang terserang meliputi gejala pernafasan, enteric, reproduksi an terganggunya sistem syaraf.

Gejala yang biasanya terjadi : 
  • Depresi 
  • Aktifitas turun 
  • Menurunnya feed intake dan emasiasi 
  • Meningkatnya lakrimasi 
  • Cyanosis pada balung dan pial 
  • Edema kepala dan muka 
  • Diare berwarna hijau atau putih 
  • Produksi telur turun 

Kejadian pada Babi

Keberadaan virus avian influenza pada babi bukan hanya menempel pada organ babi tetapi sudah masuk ke dalam tubuh atau terinfeksi pada babi. Babi dianggap sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) karena babi mempunyai komponen biologis yang dapat mengubah struktur virus avian influenza. Di dalam tubuh babi, virus avian influenza dapat melakukan penataan ulang menjadi virus baru dengan subtipe baru sehingga virulensinya lebih tinggi dan apabila menular ke manusia, sistem antibodi manusia tidak akan tanggap. (Kompas, 9 April 2005)

Pada avian influenza unggas resiko penyakit tersebut untuk pindah dari unggas ke manusia sangat kecil namun pada babi yang terserang virus ini sangat membahayakan manusia disekitarnya.

Ada 2 macam hipotesa yang dapat dikemukakan untuk mengetahui alasan tersebut, yang pertama karena adanya ketidaksamaan struktur antigenik permukaan pada unggas dan manusia. Struktur antigenik permukaan pada unggas adalah 2,3 sialic acid sedangkan pada manusia 2,6 sialic acid. Struktur antigenik permukaan ini sangat penting sebagai pengikat target sel untuk bereplikasi. Sedangkan pada hipotesa kedua pada babi yaitu dengan ditemukannya 2 struktur antigenik permukaan virus berupa 2,6 sialic acid dan 2,3 sialic acid.

Dari kedua hipotesa ini menimbulkan suatu pendapat bahwa agar virus avian influenza asal unggas dapat menginfeksi sel manusia terlebih dahulu harus merubah sturktur antigenik permukaan 2,3 sialic acid menjadi 2,6 sialic acid (shift antigenic dan drift antigenic) di dalam tubuh babi sebagai hewan amplifier. (Hunggar)

Babi yang terinfeksi virus avian influenza tidak akan menunjukkan gejala apapun. Namun sangat membahayakan manusia disekitarnya. Virus bisa menular ke manusia bila

kontak dengan babi, baik secara langsung maupun tidak, seperti dengan memegangnya atau mengurus kandangnya dan juga dari udara yang dihirup sekitar babi itu berada. ( Pikiran Rakyat Cyber Media 2002)


KEJADIAN PADA MANUSIA
Robert Webster MD dari RS Anak St Jude, Memphis AS menemukan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke manusia melalui perantaraan babi. Webster mengatakan bahwa virus avian influenza dari manusia dan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke babi. Pada tubuh babi, kedua virus dapat bermutasi atau bertukar gen dengan virus lain dan menjadi subtipe virus baru. Pembentukan subtipe virus baru tersebut memungkinkan terjadinya penularan virus dari hewan ke manusia. Penularan dengan model itu sangat mungkin terjadi di Cina karena lokasi peternakan ayam, babi dan pemukiman manusia terletak berdekatan. Oleh karena itu babi dapat disebut sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) dan reservoir virus AI. (Kompas, 26 Januari 2004)

Virus AI H5N1 menjadi perhatian utama karena dapat bermutasi dengan cepat dan mampu berubah menjadi beberapa subtipe virus baru sehingga dapat menular ke spesies lain, termasuk manusia. Di dalam tubuh manusia, virus ini dapat menyebabkan penyakit yang akut karena subtipe H5 mempunyai daya bunuh yang tinggi. Jika virus itu menular kepada lebih banyak orang lagi, subtipe virus flu dari manusia dan unggas dapat bermutasi dan menghasilkan subtipe virus baru. Virus itu sangat berbahaya karena mempunyai daya bunuh yang tinggi dan mungkin dapat ditularkan dari manusia ke manusia lain. Namun sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan secara tepat adanya penularan dari manusia ke manusia, serta penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi. (Kompas, 26 Januari 2004)

Selain virus H5N1, virus Avian influenza lain yang mampu menginfeksi adalah jenis H9N2. Wabah yang disebabkan H9N2 ini juga terjadi di Hongkong pada tahun 1999 namun tidak menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan tindakan yang cepat seperti stamping out, yakni membunuh semua ayam pada peternakan yang terserang dan desinfeksi kandang, karena itu masa kontak dengan manusia bisa diminimalkan sehingga dampak pada manusia tidak besar. (Media Indonesia,2004)

Gejala klinis avian influenza pada manusia adalah seperti gejala flu pada umumnya, yaitu demam (>38°C), sakit tenggorokan, batuk, pilek (beringus), nyeri otot, sakit kepala dan dalam waktu singkat dapat menjadi lebih berat dengan munculnya gejala infeksi mata, pneumonia, gangguan pernafasan akut dan komplikasi yang mematikan lainnya.

Terdapat tiga (3) definisi kasus avian influenza pada manusia menurut WHO yaitu:
1. Kasus suspek / possible, jika : Radang pernafasan akut (demam >38°C, batuk, sakit tenggorokan, pilek), atau Seminggu terakhir berkunjung ke peternakan yang terjangkit wabah avian influenza, atau Kontak dengan penderita influenza subtipe A (H5N1) yang konfirm, atau Petugas laboratorium yang memeriksa spesimen orang atau hewan tersangka avian influenza A (H5N1). 
2. Kasus probable, jika : Kasus suspek (possible) disertai salah satu. Dalam waktu singkat menjadi pneumonia, atau Tes laboratorium terbatas mengarah ke virus influenza subtipe A H5N1 positif (HI test atau IFA menggunakan monoclonal antibody), atau Tidak ada bukti penyebab yang lain. 
3. Kasus konfirm, jika : Kultur virus influenza subtipe A H5N1 positif atau PCR influenza (H5) positif, atau Peningkatan titer antibodi H5 sebesar 4 kali. 

Hampir separuh kasus avian influenza pada manusia menimpa anak-anak, terutama anak-anak di bawah usia 12 tahun karena sistem kekebalan tubuh anak-anak belum begitu kuat. Padahal penyakit belum ada obatnya. Obat-obatan yang diberikan hanya dapat meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing, tetapi tidak mengobati.

Virus avian influenza mempunyai kemampuan untuk membangkitkan hampir keseluruhan respon "bunuh diri" dalam sistem imunitas tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin—protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang di produksi tubuh. Sitoksin yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh-efek bunuh diri. (Silalahi)

Diagnosa terhadap kasus avian influenza dapat ditegakkan dengan jalan melihat gejala-gejala dan tanda-tanda klinis serta dari hasil pemeriksaan laboratorium. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah darah (serum), usap tenggorokan, bilas tenggorokan dan usap hidung. Uji laboratorium yang digunakan adalah HI test untuk melihat kenaikkan titer antibodi, PCR untuk memastikan virus A (H5N1) dan isolasi virus. (Suroso, 2004)


PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

1. Peningkatan biosecurity
  • Karantina / isolasi peternakan yang tertular.
  • Pembatasan orang, peralatan dan kendaraan keluar masuk peternakan.
  • Kendaraan pengangkutan harus didesinfeksi sebelum dan saat keluar peternakan.
  • Pekerja harus dalam keadaan sehat apabila memasuki areal peternakan.
  • Pekerja / orang yang masuk kandang harus menggunakan pakaian pelindung sesuai standar (sarung tangan, masker, tutup kepala, kacamata dan boot).
  • Pekerja wajib mendesinfeksi dirinya sendiri sebelum dan sesudah bekerja di peternakan.


2. Vaksinasi

  • Satu kendala yang dihadapi dalam pembuatan vaksin AI adalah sering timbulnya antigenic drift dan antigenic shift. Karenanya virus AI mudah berubah sehingga sulit membuat vaksin AI yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama. Vaksin inaktif menggunakan isolat virus AI yang ada saat ini merupakan pilihan terbaik. Namun vaksin ini perlu dievaluasi tiap tahun dengan mengamati apakah telah terjadi antigenic drift atau antigenic shift di lapangan. Apabila hal tersebut terjadi maka diperlukan isolat baru sebagai bibit vaksin. (Kompas, 22 Desember 2003)
  • Di Indonesia, vaksinasi AI menggunakan vaksin inaktif seyogyanya dilakukan hanya pada peternakan rakyat, karena biosecurity umumnya kurang maksimal. Breeder atau peternakan besar yang mampu melaksanakan biosecurity secara baik seyogyanya tidak di vaksinasi. Bila terjadi serangan AI maka stamping out akan lebih menguntungkan untuk jangka panjang. (Kompas, 26 Januari 2004)
  • Vaksinasi AI yang paling pokok cukup dilakukan sekali pada umur 18-20 minggu (berdasar uji yang dilakukan Drh. Darjono PhD). Akan tetapi bila ditemukan indikasi Low Pathogenic Avian Influenza dan umur ayam bervariasi maka lebih baik dilakukan 2x (dua kali) vaksinasi. Vaksinasi ulangan dilakukan 8-10 minggu setelah vaksinasi pertama. Pada broiler, sama sekali tidak disarankan untuk pemberian vaksinasi. (Trobos, Januari 2005)
  • Jenis vaksin AI yang ada berasal dari 3 produsen vaksin dalam negeri yaitu PT Vaksindo Satwa Nusantara, PT Medion dan Pusvetma serta importir vaksin AI yaitu PT Biofarma. Vaksin yang digunakan yaitu Afluvet (Pusvetma), Vaksiflu AI (PT Vaksindo Satwa Nusantara) dan Medivac AI (PT Medion). (Suroso, 2004)


3. Depopulasi
  • Yaitu pemusnahan terbatas terhadap unggas sehat yang sekandang dengan unggas sakit pada peternakan yang tertular dengan cara eutanasia atau disembelih. Kemudian bangkainya di bakar atau di kubur sedalam 1,5 meter dan disiram air kapur atau desinfektan.


4. Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas.
  • Pelarangan keluar masuknya unggas sehat atau sakit secara bebas ke dalam atau keluar peternakan yang terinfeksi. Telur dari unggas yang terinfeksi lebih baik dimusnahkan karena walaupun AI tidak ditularkan secara vertikal ada kemungkinan telur terinfeksi karena tercemar feses. Limbah peternakan yang terinfeksi dimusnahkan dengan di bakar atau di kubur.


5. Stamping out
  • Sebagian besar negara maju memilih stamping out yakni membunuh semua populasi ayam tertular apabila ditemukan virus AI ganas (HPAI). Namun di Indonesia hal itu jarang dilakukan karena tingginya biaya kompensasi.


6. Peningkatan kesadaran masyarakat.
7. Monitoring dan evaluasi
  • Mengamati ada tidaknya mutasi virus atau pembentukan strain baru di lapangan. Mengamati hasil kegiatan vaksinasi.


8. Surveilans dan penelusuran
  • Menganbil sampel kemudian dilakukan pengujian untuk mengkaji dinamika virus, efektivitas vaksin, menetapkan perwilayahan dan pemetaan penyakit.


9. Pengisian kandang kembali setelah 30 hari.


PENGOBATAN

Pengobatan bagi penderita avian influenza adalah : 
  • Oksigenasi bila terdapat sesak nafas. 
  • Hidrasi dengan pemberian cairaan parenteral (infus). 
  • Pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari. 


Untuk anak
  • < 15 kg dosis 30 mg 2x sehari
  • <15-23 kg dosis 45 mg 2x sehari
  • > 23-40 kg dosis 60 mg 2x sehari
  • > 40 kg dosis 75 mg 2x sehari
Untuk penderita berusia > 13 tahun dosis 75 mg 2x sehari. 
Amantadin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2x sehari. (Suroso,2004) 

Sumber :